Pages

Subscribe:

Labels

Kamis, 17 Januari 2013

PENGARUH PEMIKIRAN MAZHAB DALAM KETENTUAN HUKUM PERCERAIAN DI INDONESIA (Makalah)

PENDAHULUAN
Allah swt menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini dengan berpasang-pasangan, ada laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada perpisahan.[1] Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir, tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk pendewasaan diri. Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.[2]
Ikatan pernikahan yang dipisahkan karena kematian bisa diterima dan dapat kita fahami bersama. Namun, perpisahan antara suami dan istri yang disebabkan oleh perceraian seringkali meniggalkan permasalahan, mulai dari sebab perceraian yang terkadang tidak jelas, sampai kepada akibat buruk dari perceraian tersebut. Seperti apa sebenarnya Islam mengatur masalah perceraian ini, mungkinkah ada yang salah dari peraturan (hukum) Islam sehingga dewasa ini begitu mudahnya pasangan suami istri di bumi ini, khususnya dari kalangan umat Islam sendiri, mengakhiri ikatan suci (pernikahan) rumah tangga mereka dengan perceraian (talak).
Selain masalah perkawinan, perceraian di Indonesia secara umum juga diatur di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang diberlakukan bagi semua warga negara Indonesia, kemudian ditambah dengan peraturan Kompilasi Hukum Islam (KHI) khusus bagi warga negara Indonesia yang memeluk agama Islam. Hal ini sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 1991 yang melegalkan KHI sebagai salah satu acuan atau pedoman hukum perkawinan dan perceraian (juga hal lainnya yang berkaitan langsung dengan perkawinan) di Indonesia.

Perumusan KHI secara substansial mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seperti biasa di dalam Islam, ketika para mujtahid tidak menemukan sumber dari nash mereka akan merujuk kepada pendapat para sahabat bahkan merujuk kepada imam mazhab atau yang mengikutinya. Begitu juga dalam penyusunan KHI Indonesia, terdapat beberapa pendapat mazhab yang dikutip dan diekspresikan oleh tim penyusun KHI khususnya tentang masalah perceraian.
Untuk hasil yang lebih lengkap dan jelas dalam bentuk Microsoft Word, silahkan download (klik disni)


[1] Lihat Al-Qur’an surat Yasin (36): 36, Az-Zumar (39): 6, Adz-Dzaariyaat (51): 49 dan Fatir (35): 11.
[2] Supriatna dkk, Fiqh Munakahat II Dilengkapi dengan UU No. 1/ 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 16.

0 komentar:

Posting Komentar

SPONSORED