PENDAHULUAN
Allah
swt menciptakan segala sesuatu di muka bumi ini dengan berpasang-pasangan, ada
laki-laki dan ada perempuan, ada suka dan ada duka, ada pertemuan dan ada
perpisahan.[1]
Sudah lumrah bagi setiap hal yang memiliki awal pasti juga memiliki akhir,
tidak terkecuali dalam ikatan pernikahan. Ada waktunya untuk kita bertemu
dengan seseorang yang kita cintai dan ada pula waktunya ketika kita harus
berpisah dengan seseorang yang disayangi. Perpisahan yang terjadi bukanlah
akhir dari sebuah perjalanan hidup, melainkan sebuah pembelajaran untuk
pendewasaan diri. Kali ini, kita akan berbicara tentang perpisahan antara dua
insan yang mencinta, antara sepasang suami istri. Berpisahnya sepasang suami
dan istri disebabkan oleh dua hal umum yaitu, kematian dan perceraian.[2]
Ikatan
pernikahan yang dipisahkan karena kematian bisa diterima dan dapat kita fahami
bersama. Namun, perpisahan antara suami dan istri yang disebabkan oleh
perceraian seringkali meniggalkan permasalahan, mulai dari sebab perceraian
yang terkadang tidak jelas, sampai kepada akibat buruk dari perceraian
tersebut. Seperti apa sebenarnya Islam mengatur masalah perceraian ini,
mungkinkah ada yang salah dari peraturan (hukum) Islam sehingga dewasa ini
begitu mudahnya pasangan suami istri di bumi ini, khususnya dari kalangan umat
Islam sendiri, mengakhiri ikatan suci (pernikahan) rumah tangga mereka dengan
perceraian (talak).
Selain
masalah perkawinan, perceraian di Indonesia secara umum juga diatur di dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang diberlakukan bagi semua warga negara
Indonesia, kemudian ditambah dengan peraturan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
khusus bagi warga negara Indonesia yang memeluk agama Islam. Hal ini sesuai dengan
Instruksi Presiden (Inpres) nomor 1 tahun 1991 yang melegalkan KHI sebagai
salah satu acuan atau pedoman hukum perkawinan dan perceraian (juga hal lainnya
yang berkaitan langsung dengan perkawinan) di Indonesia.
Perumusan
KHI secara substansial mengacu kepada sumber hukum Islam, yakni al-Qur’an dan
Sunnah Rasulullah, dan secara hirarki mengacu kepada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seperti
biasa di dalam Islam, ketika para mujtahid tidak menemukan sumber dari
nash mereka akan merujuk kepada pendapat para sahabat bahkan merujuk kepada
imam mazhab atau yang mengikutinya. Begitu juga dalam penyusunan KHI Indonesia,
terdapat beberapa pendapat mazhab yang dikutip dan diekspresikan oleh tim
penyusun KHI khususnya tentang masalah perceraian.
Untuk hasil yang lebih lengkap dan jelas dalam bentuk Microsoft Word, silahkan download (klik disni)
[1] Lihat
Al-Qur’an surat Yasin (36): 36, Az-Zumar (39): 6, Adz-Dzaariyaat (51): 49 dan
Fatir (35): 11.
[2] Supriatna dkk,
Fiqh Munakahat II Dilengkapi dengan UU No. 1/ 1974 dan Kompilasi Hukum Islam,
cet. Ke-1, (Yogyakarta: Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga, 2008), hlm. 16.
0 komentar:
Posting Komentar