Pages

Subscribe:

Labels

Jumat, 26 Juli 2013

KEKHUSUSAN DAN KEISTIMEWAAN DARI BULAN RAMADHAN

Diantara Keistimewaan Bulan Ramadhan adalah:
1. Puasa Ramadhan adalah rukun keempat dalam Islam.
Firman Allah swt : "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. "(Al-Baqarah : 183).
Sabda Nabi Muhammad saw:
Islam didirikan di atas lima sendi, yaitu: syahadat tiada sesembahan yang haq selain Allah dan Muhammad adalah rasul (utusan) Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, puasa Ramadhan dan pergi haji ke Baitul Haram. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Ibadah puasa merupakan salah satu sarana penting untuk mencapai takwa, dan salah satu sebab untuk mendapatkan ampunan dosa-dosa, pelipatgandaan kebaikan, dan pengangkatan derajat. Allah telah menjadikan ibadah puasa khusus untuk diri-Nya dari amal-amal ibadah lainnya. Firman Allah dalam hadits qudsi yang disampaikan oleh Nabi saw:
"Puasa itu untuk-Ku dan Aku langsung membalasnya. Orang yang berpuasa mendapatkan dua kesenangan, yaitu kesenangan ketika berbuka puasa dan kesenangan ketika berjumpa dengan Tuhannya. Sungguh, bau mulut orang berpuasa lebih harum dari pada aroma kesturi." (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Dan sabda Nabi :
"Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Maka untuk memperoleh ampunan dengan puasa Ramadhan, harus ada dua syarat berikut ini:

  • Mengimani dengan benar akan kewajiban ini.
  • Mengharap pahala karenanya di sisi Allah Ta 'ala.
2. Pada bulan Ramadhan diturunkan Al-Qur'an.
Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan berisi keterangan-keterangan tentang petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil.

3. Pada bulan ini disunatkan shalat tarawih, 
yakni shalat malam pada bulan Ramadhan, untuk mengikuti jejak Nabi, para sahabat dan Khulafaur Rasyidin. Sabda Nabi saw: "Barangsiapa mendirikan shalat malam Ramadhan karena iman dan mengharap pahala (dari Allah) niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).

4. Pada bulan ini terdapat Lailatul Qadar (malam mulia),
yaitu malam yang lebih baik daripada seribu bulan, atau sama dengan 83 tahun 4 bulan. Malam di mana pintu-pintu langit dibukakan, do'a dikabulkan, dan segala takdir yang terjadi pada tahun itu ditentukan. Sabda Nabi saw: "Barangsiapa mendirikan shalatpada Lailatul Qadar karena iman dan mengharap pahala, dari Allah niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu. " (Hadits Muttafaq 'Alaih).
Malam ini terdapat pada sepuluh malam terakhir, dan diharapkan pada malam-malam ganjil lebih kuat daripada di malam-malam lainnya. Karena itu, seyogianya seorang muslim yang senantiasa mengharap rahmat Allah dan takut dari siksa-Nya, memanfaatkan kesempatan pada malam-malam itu dengan bersungguh-sungguh pada setiap malam dari kesepuluh malam tersebut dengan shalat, membaca Al-Qur'anul Karim, dzikir, do'a, istighfar dan taubat yang sebenar-benamya. Semoga Allah menerima amal ibadah kita, mengampuni, merahmati, dan mengabulkan do'a kita.

5. Pada bulan ini terjadi peristiwa besar yaitu Perang Badar
yang pada keesokan harinya Allah membedakan antara yang haq dan yang bathil, sehingga menanglah Islam dan kaum muslimin serta hancurlah syirik dan kaum musyrikin.

6. Pada bulan suci ini terjadi pembebasan kota Makkah Al-Mukarramah, 
Allah memenangkan Rasul-Nya, sehingga masuklah manusia ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong dan Rasulullah menghancurkan syirik dan paganisme (keberhalaan) yang terdapat di kota Makkah, dan Makkah pun menjadi negeri Islam.

7. Pada bulan ini pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu Neraka ditutup dan para setan diikat.
Betapa banyak berkah dan kebaikan yang terdapat dalam bulan Ramadhan. Maka kita wajib memanfaatkan kesempatan ini untuk bertaubat kepada Allah dengan sebenar-benarnya dan beramal shalih, semoga kita termasuk orang-orang yang diterima amalnya dan beruntung.

                Perlu diingat, bahwa ada sebagian orang –semoga Allah menunjukinya- mungkin berpuasa tetapi tidak shalat, atau hanya shalat pada bulan Ramadhan saja. Orang seperti ini tidak berguna baginya puasa, haji, maupun zakat. Karena shalat adalah sendi agama Islam yang ia tidak dapat tegak kecuali dengannya. Sabda Nabi saw: "Jibril datang kepadaku dan berkata, 'Wahai Muhammad, siapa yang menjumpai bulan Ramadhan, namun setelah bulan itu habis dan ia tidak mendapat ampunan, maka jika mati ia masuk Neraka. Semoga Allah menjauhkannya. Katakan: Amin!. Aku pun mengatakan: Amin. " (HR. Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban dalam Shahihnya) "' Lihat kitab An Nasha i'hud Diniyyah, him. 37-39.
             Maka seyogyanya waktu-waktu pada bulan Ramadhan dipergunakan untuk berbagai amal kebaikan, seperti shalat, sedekah, membaca Al-Qur'an, dzikir, do'a dan istighfar. Ramadhan adalah kesempatan untuk menanam bagi para hamba Ailah, untuk membersihkan hati mereka dari kerusakan.
Juga wajib menjaga anggota badan dari segala dosa, seperti berkata yang haram, melihat yang haram, mendengar yang haram, minum dan makan yang haram agar puasanya menjadi bersih dan diterima serta orang yang berpuasa memperoleh ampunan dan pembebasan dari api Neraka.

Tentang keutamaan Ramadhan, Rasulullah saw bersabda:
"Aku melihat seorang laki-laki dari umatku terengah-engah kehausan, maka datanglah kepadanya puasa bulan Ramadhan lalu memberinya minum sampai kenyang " (HR. At-Tirmidzi, Ad-Dailami dan Ath-Thabarani dalam Al-Mu'jam Al-Kabir dan hadits ini hasan).
"Shalat lima waktu, shalat Jum'at ke shalat Jum 'at lainnya, dan Ramadhan ke Ramadhan berikutnya menghapuskan dosa-dosa yang dilakukan di antaranya jika dosa-dosa besar ditinggalkan. " (HR.Muslim).
                Jadi hal-hal yang fardhu ini dapat menghapuskan dosa-dosa kecil, dengan syarat dosa-dosa besar ditinggalkan. Dosa-dosa besar, yaitu perbuatan yang diancam dengan hukuman di dunia dan siksaan di akhirat. Misalnya: zina, mencuri, minum arak, mencaci kedua orang tua, memutuskan hubungan kekeluargaan, transaksi dengan riba, mengambil risywah (uang suap), bersaksi palsu, memutuskan perkara dengan selain hukum Allah.


           Seandainya tidak terdapat dalam bulan Ramadhan keutamaan-keutamaan selain keberadaannya sebagai salah satu fardhu dalam Islam, dan waktu diturunkannya Al-Qur'anul Karim, serta adanya Lailatul Qadar -yang merupakan malam yang lebih balk daripada seribu bulan- di dalamnya, niscaya itu sudah cukup, Semoga Allah melimpahkan taufik-Nya. Lihat kitab Kalimaat Mukhtaarah, hlm. 74 - 76.

              Semoga puasa dan ibadah-ibadah kita pada bulan Ramadhan ini diterima oleh Allah swt sehingga kita termasuk dari hambaNya yang benar-benar bertaqwa. amin
Read more >>

Sabtu, 01 Juni 2013

Pengaruh Pemikiran Mazhab dalam Ketentuan Hukum Perceraian di Indonesia

A.   Gambaran Umum Tentang Perceraian
 1.      Defenisi Perceraian
Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’.[1]
Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talak” atau “Furqah”. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian, Sedangkan furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talak dan furqah mempunyai pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.[2]
Mengenai talak Sayyid Sabiq mengartikannya sebagai perbuatan melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.[3] Sementara Abdurr Rahman al-Jaziri mengatakan bahwa talak adalah usaha menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafaz khusus.[4]
Menurut HA. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.[5]
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perceraian, keduanya hanya mengatur tentang sebab dan akibat putusnya perkawinan yang berujung pada perceraian pasangan suami isteri (pasutri).

2.      Klasifikasi Perceraian

          Menurut hukum Islam, perceraian dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari pihak siapa yang menghendaki atau berinisiatif untuk memutuskan ikatan perkawinan (perceraian) tersebut. Dalam hal ini ada empat kemungkinan dalam perceraian:
a)      Perceraian atas kehendak suami dengan alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan dengan ucapan tertentu atau tulisan dan isyarat bagi yang tidak bisa berbicara. Termasuk dalam hal ini talak, ila’dan dhihar.
b)      Perceraian atas kehendak isteri dengan alasan isteri tidak sanggup melanjutkan perkawinan karena ada sesuatu yang dinilai negatif pada suaminya sementara suaminya tidak mau menceraikannya. Bentuk ini disebut sebagai khulu’.
c)      Perceraian melalui putusan hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pasa suami atau pada isteri yang menunjukkan hubungan perkawinan mereka tidak bisa dilanjutkn. Bentuk ini disebut sebagai fasakh.
d)      Perceraian (putusnya pernikahan) atas kehendak Allah swt, yaitu ketika salah satu dari pasangan suami dan isteri meninggal dunia.[6]
Undang-undang perkawinan yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, mengadakan klasifikasi perceraian sebagai berikut:
a)      Perceraian karena kematian
b)      Perceraian yang berbentuk cerai-talak dan cerai-gugat
c)      Perceraian karena keputusan pengadilan[7]
Lebih terang lagi Wasman bersama Wardah Nuroniyah menggambarkan setidaknya ada sembilan macam bentuk yang akan memutuskan (cerai) pernikahan suami isteri yaitu: 1). Talak, 2). Khulu’, 3). Syiqaq, 4). Fasakh, 5). Ta’lik Thalaq, 6). Ila’, 7). Zhihar, 8). Li’an, 9). Maut.[8] Kami (penyusun) tidak akan membahas lebih dalam tentang kesembilan bentuk dan penyebab perceraian tersebut.

B.     Ketentuan Hukum Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan tiga alasan sebagai berikut: 1). Kematian, 2). Perceraian, 3). Putusan Pengadilan.[9]
KHI juga menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh isteri. Selanjutnya menurut KHI menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (suami dan isteri).[10]
Selanjutnya dalam Pasal 116 KHI alasan-alasan terjadinya perceraian pasangan suami isteri dapat disebabkan karena:
1.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, atau lain sebagainya yang sulit disembuhkan;
2.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama, 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
5.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6.      Terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri secara terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya;
7.      Suami melanggar taklik-talak, adalah perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah.
8.      Terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.[11]
Perceraian yang terjadi karena talak suami isterinya ditandai dengan adanya pembacaan ikrar talak, yaitu ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dan dilakukan sesuai tata cara perceraian yang diatur dalam Pasal 129, 130, dan 131.[12]
Sedangkan macam-macam perceraian yang dikarenakan talak suami terdiri dari:[13]
1.       Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah;
2.        Talak Ba'in (shugro dan kubraa). Shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi diperbolehkan akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam masa iddah, talak ini dibagi menjadi tiga, yaitu: talak yang terjadi qabla al-dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ dan talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama. Adapun kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya;
3.        Talak Sunny, yaitu talak yang diperbolehkan dan talak tersebut dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci serta tidak dicampuri dalam waktu suci;
4.        Talak Bid'i, yaitu talak yang dilarang, karena talak tersebut dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut;
5.        Talak Li'an yaitu talak yang terjadi karena suami menuduh isterinya berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang sudah lahir dari kandungan isterinya, sedangkan isterinya menolak atau mengingkari tuduhan tersebut. Jenis talak Li'an ini menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.
Mengingat putusnya perkawinan yang dikarenakan talak suami terhadap isterinya terdapat beberapa macam yang tidak seluruhnya dapat dirujuk kembali, sehingga diperlukan pertimbangan yang bersifat prinsipal bagi seorang suami sebelum menjatuhkan talaknya. Demikian halnya dalam ajaran agama Islam, talak merupakan perbuatan halal tetapi dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena itu menurut Mahmud Yunus diperlukan alasan-alasan bagi suami untuk menjatuhkan talaknya terhadap isterinya yang diperbolehkan dan tidak dibenci oleh Allah SWT, terdiri dari:
1.      Isteri berbuat zina;
2.      Isteri nusyuz, setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya;
3.      Isteri suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang mengganggu keamanan rumah tangga;
4.      Sebab-sebab lain yang sifatnya berat sehingga tidak memungkinkan untuk mendirikan rumah tangga secara damai dan teratur.[14]

C.     Pengaruh Pemikiran Mazhab dalam Ketentuan Hukum Perceraian Indonesia (KHI)

1.      KHI Pasal 114: Perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh isteri.
Apakah yang menjatuhkan talak itu laki-laki atau perempuan?
Maliki, Syafi’i dan Hambali: yang menjatuhkan talak adalah laki-laki (suami). Hanafi: yang menjatuhkan talak adalah perempuan.[15]
Para imam mazhab sepakat bahwa seorang isteri, apabila sudah tidak senang lagi kepada suaminya lantaran keburukan mukanya atau buruk pergaulannya, boleh menebus dirinya dari suaminya dengan suatu pembayaran (khulu’).[16]

2.      KHI Pasal 116 huruf (e): Bercerai karena Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
Cacat yang menyebabkan bolehnya khiyar, yaitu memilih antara meneruskan pernikahan atau membatalkannya, ada sembilan perkara. Gila, kusta dan sopak yang ada pada suami dan isteri. Putus zakar dan impoten dari suami, adapun dari isteri adalah tumbuh tulang pada kemaluan, kemaluannya buntu, tersumbat daging dan lubang kemaluannya terlalu basah.[17]
Hanafi: suami tidak mempunyai hak khiyar lantaran alasan tersebut, namun isteri boleh khiyar jika suami putus zakar dan impoten.
Maliki & Syafi’i: suami dan isteri beleh khiyar kecuali sobek antara saluran kencing dan lubang kemaluan. Hambali menetapkan semuanya menyebabkan bolehnya khiyar.

3.      KHI Pasal 116 huruf (g): Bercerai karena Suami melanggar taklik-talak.
Apakah ta’liq talak itu sah? Misalnya seseorang laki-laki berkata seorang perempuan yang bukan isterinya “jika aku menikahimu maka kamu tertalak” atau “setiap perempuan yang aku nikahi tertlak”
Hanafi: Ta’liq demikian hukumnya adalah sah dan jatuhlah talak, baik diucapkan secara mutlak atau umum maupun khusus.
Maliki: ta’liq tersebut sah dan lazim talak apabila ditentukan kabilahnya atau negerinya. Sedangkan jika ta’liq diutarakan secara umum maka ta’liq itu tidak sah dan tidak jatuh talak. Syafi’i dan Hambali: ta’liq yang demikian tidak sah dan tidak lazim talak secara mutlak.[18]

4.      KHI Pasal 116 huruf (h): Bercerai karena terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Hanafi & Maliki: Jika salah seorang suami isteri keluar dari agama Islam (murtad), maka secepatnya mereka harus bercerai (mutlak), baik murtadnya sebelum bercampur maupun sesudahnya.
Syafi’i dan Hambali: Jika murtadnya sebelum terjadi dukhul maka harus secepatnya bercerai, namun jika sudah dukhul hendaknya ditunggu hingga ‘iddah-nya selesai.
Hanafi, Syafi’i dan Hambali : Tidak bercerai apabila keduanya sama-sama murtad, berbeda dengan Maliki yang mengharuskan bercerai alias pernikahannya batal.[19]

5.      Dan lain-lain.




[1] Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 1993), juz.11, hlm. 175.
[2] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, (Yogyakarta: PT.Liberti, 2004), hlm. 103.

[3] As-Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz III, hlm. 206.
[4] Abdur Rahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1969), juz IV, hlm. 278.
[5] Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, al-Hikmah dan DITBINBAPERA, Jakarta. No. 52 Th XII 2001 hlm. 7.
[6] Supriatna dkk, Fiqh Munakahat II, hlm. 17.
[7] Dzamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 38.
[8] Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan di Indonesia Perbandingan fiqih dan Hukum Positif, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 86.
[9] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, cet. Ke-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 152.
[10] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 114 dan 115.
[11] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 153.
[12] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 117.
[13] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 118-126.
[14] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta: CV Al-Hidayah, 1968), hlm. 113.
[15] Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, cet. Ke-13, alih bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2010), hlm. 366.
[16] Ibid., hlm. 363.
[17] Ibid., hlm. 354.
[18] Ibid., hlm. 366.
[19] Ibid., hlm. 350.
Read more >>

Sabtu, 27 April 2013

Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani (3-sempurna)


Definisi dari Epistemologi
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Dan juga merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan.
Istilah epistemologi terkait dengan :
a.       Filsafat, yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
b.      Metode, yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan.
c.       Sistem, yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang epistimologi :
1.      Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2.      Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pilkiran kita? Dan kalau ada apakah kita bisa mengetahuinya?
3.      Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?
Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistimologis menyangkut dua macam, yakni epistimologi kefilsafatan yang erat hubungannnya dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut.
Epistimologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pemgetahuan. Perbedaan mengenai pemilihan ontologik akan mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi, atau sarana yang lain. Ditunjukan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan dan batas-batas validitas dari suatuyang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah.
Dalam perspektif Barat dikenal adanya tiga aliran epistemologi, yaitu empirisme, rasionalisme, dan positivisme. Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan penyelidikan ilmiah secara empiris. Aliran rasionalisme menganggap empirisme memiliki kelemahan karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas, sehingga alat indera diposisikan sebagai alat yang menyebabkan akal bekerja.
Sedangkan metode positivisme yang dikemukakan August Comte menyatakan bahwa hasil penginderaan menurut rasionalisme adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak sistematis. Aliran positivisme menganggap bahwa penginderaan itu harus dipertimbangkan oleh akal, kemudian disistemisasi sehingga terbentuk pengetahuan.
Epistemologi-epistemologi dalam dunia Barat tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan berpusat pada dua hal, indera dan rasio. Ini menunjukkan bahwa pusat dari epistemologi adalah manusia sendiri. Didalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada manusia. Manusia bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan kebenaran seenaknya. Semuanya berpusat kepada Allah. Di satu pihak, epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Namun, bukan berarti manusia tidak penting. Di pihak lain, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan.
Seperti telah disebutkan pada bagian awal dari pembahasan ini, setidaknya ada tiga model berfikir yang umum dipaakai oleh banyak kalangan manusia. Berikut akan kami uraikan tiga model berpikir yang umum dipakai dalam studi (kajian) islam, oleh al-Jabiri yakni :  
1.Model Linguistik atau tekstual (bayani),
2.Model Demonstratif (Burhani), dan
3.Gnostik atau intuitif (`Irfani).

  1. Epistemologi Bayani
Epistimologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content). Ada beberapa kritik yang muncul terhadap epistemologi bayani yang dianggap menjadi titik kelemahan dari epistemologi ini. Diantaranya adalah :
1)      Epistemology ini menempatkan teks yang dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh dipertanyakan apalagi ditolak.
2)      Teks yang dikaji pada epistemology bayani tidak didekati atau diteliti historitasnya, barangkali historitas aslinya berbeda dengan historitas kita pada zaman global, post industry dan informatika, meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks.
3)      Kajian dalam model epistemology bayani ini tidak diperkuat dengan analisis konteks, bahkan konstektualisasi (relevansi).

Sebenarnya model berpikir semacam ini sudah  lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Mereka banyak berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan untuk :
a) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan
b) mengambil istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.

Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, epistimologi bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Untuk itu epistemologi bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu bahasa dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asli, far'I, lafz ma'na, khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf).

Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam bayan :
Ø  Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
Ø  Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil;
Ø  Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
Ø  Bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.

Dalam epistemologi bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu bukan berarti model berpikir yang semacam ini tidak memiliki  kelemahan. Hanya sekedar memperjelas titik kelemahan dari epistemology bayani yang kami sebutkan di atas, kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, sehingga dari sikap ini muncul suatu konsep atau sikap, pemahaman dengan semboyan kurang lebih :
"right or wrong is my country"
(dalam konteks ini tentu diterjemahkan : salah atau benar, yang penting inilah agama saya).

B.     Epistemologi Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum -hukum logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa teks wahyu suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang berkaitan dengan alam, social, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di labolatorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat alam maupun social. Corak model berpikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Mengenai model berpikir bayani dan burhani Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Dari pendapat tersebut kita seharusnya bisa mengambil sikap terhadap kedua epistemology bayani dan epistemology burhani, bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh mengambil atau memilih salah satu diantara keduanya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem social dan dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar aduktif, yakni mencoba untuk memadukan model berpikir deduktif dan model berpikir induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat konstektual terhadap nash dan hasil penelitian-penelitian empiris justru kelak melahirkan ilmu islam yang sempurna dan lengkap (konprehensif), luar biasa, dan kelak dapat menuntaskan problem-problem masa kini khususnya di Indonesia.

Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini, pada akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai Hermaneutika Otoriter (Authoritharian hermeneutic).Hermeneutika Otoriter terjadi ketika pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif dan selektif serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks.
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu :
1.      Ilmu al-lisan, yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. dan
2.      Ilmu al-mantiq, yang membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya.Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.

Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-thani.
ü  Falsafat al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir (jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah, dan asbab yang terjadi pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia).
ü  Sedangkan falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (al-sunnah al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang bersifat plural (mutanawwi'ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).

Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science, al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora (humanities, al-'ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama.
Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga
Pendekatan sejarah (tarikhiyyah) untuk mengetahui konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Kelemahan dan kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan burhani ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam permasalahannya ada yang diutamakan antara teks atau konteks. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat lebih banyak memenangkan tekstualitas daripada kontekstualitasnya, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.

C.     Epistimologi Irfani
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Berikut ini adalah tabel perbandingan antara ketiga epistemologi Islam yang telah dijelaskan sebelumnya, epistemologi bayani, irfani, dan burhani :

Tabel 1. Perbandingan Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani

Bayani
Irfani
Burhani
Sumber
Teks Keagamaan/
Nash
Ilham/ Intuisi
Rasio
Metode
Istinbat/ Istidlal
Kasyf
Tahlili (analitik),
Diskursus
Pendekatan
Linguistik
Psikho-Gnostik
logika
Tema sentral
Ashl – Furu’
Kata – Makna
Zahir – Batin
Wilayah – Nubuwah
Essensi – Aksistensi
Bahasa – Logika
Validitas kebenaran
Korespondensi
Intersubjektif
Koherensi
Konsistensi
Pendukung
Kaum Teolog,
ahli Fiqh,
ahli Bahasa
Kaum Sufi
Para Filosof

 D.  Kesimpulan
Dari pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi bayani menekankan kajian dari teks (nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah) [6]
Sikap terhadap ketiga epistimologi diatas yaitu, bayani, burhani, dan irfani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan ketiganya. Dari perpaduan ketiganya akan muncul ilmu islam yang lengkap (komprehensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keindonesiian.

DAFTAR PUSAKA
1.      Nasrah, “Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam”,
Universitas Sumatera Utara
2.      Nasution, Khoiruddin, “Pengantar Studi islam”.
                  Yogyakarta: Tazzaff dan ACAdeMIA, 2009.
3.      Zainuddin, M.  “Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam”.
Yogyakarta : Bayu Media, 2003.
/waktu akses : 1 november 2009.
/waktu akses : 1 november 2009.
 /waktu akses : 10 oktober 2009.
Read more >>

SPONSORED