Pages

Subscribe:

Labels

Sabtu, 01 Juni 2013

Pengaruh Pemikiran Mazhab dalam Ketentuan Hukum Perceraian di Indonesia

A.   Gambaran Umum Tentang Perceraian
 1.      Defenisi Perceraian
Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah dipergunakan pada masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’.[1]
Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talak” atau “Furqah”. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian, Sedangkan furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talak dan furqah mempunyai pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.[2]
Mengenai talak Sayyid Sabiq mengartikannya sebagai perbuatan melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.[3] Sementara Abdurr Rahman al-Jaziri mengatakan bahwa talak adalah usaha menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan lafaz khusus.[4]
Menurut HA. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.[5]
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI tidak terdapat pengertian yang jelas dan tegas tentang perceraian, keduanya hanya mengatur tentang sebab dan akibat putusnya perkawinan yang berujung pada perceraian pasangan suami isteri (pasutri).

2.      Klasifikasi Perceraian

          Menurut hukum Islam, perceraian dapat dilakukan dengan beberapa cara tergantung dari pihak siapa yang menghendaki atau berinisiatif untuk memutuskan ikatan perkawinan (perceraian) tersebut. Dalam hal ini ada empat kemungkinan dalam perceraian:
a)      Perceraian atas kehendak suami dengan alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan dengan ucapan tertentu atau tulisan dan isyarat bagi yang tidak bisa berbicara. Termasuk dalam hal ini talak, ila’dan dhihar.
b)      Perceraian atas kehendak isteri dengan alasan isteri tidak sanggup melanjutkan perkawinan karena ada sesuatu yang dinilai negatif pada suaminya sementara suaminya tidak mau menceraikannya. Bentuk ini disebut sebagai khulu’.
c)      Perceraian melalui putusan hakim sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pasa suami atau pada isteri yang menunjukkan hubungan perkawinan mereka tidak bisa dilanjutkn. Bentuk ini disebut sebagai fasakh.
d)      Perceraian (putusnya pernikahan) atas kehendak Allah swt, yaitu ketika salah satu dari pasangan suami dan isteri meninggal dunia.[6]
Undang-undang perkawinan yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun 1975, mengadakan klasifikasi perceraian sebagai berikut:
a)      Perceraian karena kematian
b)      Perceraian yang berbentuk cerai-talak dan cerai-gugat
c)      Perceraian karena keputusan pengadilan[7]
Lebih terang lagi Wasman bersama Wardah Nuroniyah menggambarkan setidaknya ada sembilan macam bentuk yang akan memutuskan (cerai) pernikahan suami isteri yaitu: 1). Talak, 2). Khulu’, 3). Syiqaq, 4). Fasakh, 5). Ta’lik Thalaq, 6). Ila’, 7). Zhihar, 8). Li’an, 9). Maut.[8] Kami (penyusun) tidak akan membahas lebih dalam tentang kesembilan bentuk dan penyebab perceraian tersebut.

B.     Ketentuan Hukum Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan tiga alasan sebagai berikut: 1). Kematian, 2). Perceraian, 3). Putusan Pengadilan.[9]
KHI juga menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh isteri. Selanjutnya menurut KHI menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (suami dan isteri).[10]
Selanjutnya dalam Pasal 116 KHI alasan-alasan terjadinya perceraian pasangan suami isteri dapat disebabkan karena:
1.      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, atau lain sebagainya yang sulit disembuhkan;
2.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama, 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3.      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
4.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
5.      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;
6.      Terjadi perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri secara terus menerus dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya;
7.      Suami melanggar taklik-talak, adalah perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah.
8.      Terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.[11]
Perceraian yang terjadi karena talak suami isterinya ditandai dengan adanya pembacaan ikrar talak, yaitu ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dan dilakukan sesuai tata cara perceraian yang diatur dalam Pasal 129, 130, dan 131.[12]
Sedangkan macam-macam perceraian yang dikarenakan talak suami terdiri dari:[13]
1.       Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah;
2.        Talak Ba'in (shugro dan kubraa). Shughra adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi diperbolehkan akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam masa iddah, talak ini dibagi menjadi tiga, yaitu: talak yang terjadi qabla al-dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ dan talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama. Adapun kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya;
3.        Talak Sunny, yaitu talak yang diperbolehkan dan talak tersebut dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci serta tidak dicampuri dalam waktu suci;
4.        Talak Bid'i, yaitu talak yang dilarang, karena talak tersebut dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut;
5.        Talak Li'an yaitu talak yang terjadi karena suami menuduh isterinya berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang sudah lahir dari kandungan isterinya, sedangkan isterinya menolak atau mengingkari tuduhan tersebut. Jenis talak Li'an ini menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.
Mengingat putusnya perkawinan yang dikarenakan talak suami terhadap isterinya terdapat beberapa macam yang tidak seluruhnya dapat dirujuk kembali, sehingga diperlukan pertimbangan yang bersifat prinsipal bagi seorang suami sebelum menjatuhkan talaknya. Demikian halnya dalam ajaran agama Islam, talak merupakan perbuatan halal tetapi dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena itu menurut Mahmud Yunus diperlukan alasan-alasan bagi suami untuk menjatuhkan talaknya terhadap isterinya yang diperbolehkan dan tidak dibenci oleh Allah SWT, terdiri dari:
1.      Isteri berbuat zina;
2.      Isteri nusyuz, setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya;
3.      Isteri suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang mengganggu keamanan rumah tangga;
4.      Sebab-sebab lain yang sifatnya berat sehingga tidak memungkinkan untuk mendirikan rumah tangga secara damai dan teratur.[14]

C.     Pengaruh Pemikiran Mazhab dalam Ketentuan Hukum Perceraian Indonesia (KHI)

1.      KHI Pasal 114: Perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh isteri.
Apakah yang menjatuhkan talak itu laki-laki atau perempuan?
Maliki, Syafi’i dan Hambali: yang menjatuhkan talak adalah laki-laki (suami). Hanafi: yang menjatuhkan talak adalah perempuan.[15]
Para imam mazhab sepakat bahwa seorang isteri, apabila sudah tidak senang lagi kepada suaminya lantaran keburukan mukanya atau buruk pergaulannya, boleh menebus dirinya dari suaminya dengan suatu pembayaran (khulu’).[16]

2.      KHI Pasal 116 huruf (e): Bercerai karena Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
Cacat yang menyebabkan bolehnya khiyar, yaitu memilih antara meneruskan pernikahan atau membatalkannya, ada sembilan perkara. Gila, kusta dan sopak yang ada pada suami dan isteri. Putus zakar dan impoten dari suami, adapun dari isteri adalah tumbuh tulang pada kemaluan, kemaluannya buntu, tersumbat daging dan lubang kemaluannya terlalu basah.[17]
Hanafi: suami tidak mempunyai hak khiyar lantaran alasan tersebut, namun isteri boleh khiyar jika suami putus zakar dan impoten.
Maliki & Syafi’i: suami dan isteri beleh khiyar kecuali sobek antara saluran kencing dan lubang kemaluan. Hambali menetapkan semuanya menyebabkan bolehnya khiyar.

3.      KHI Pasal 116 huruf (g): Bercerai karena Suami melanggar taklik-talak.
Apakah ta’liq talak itu sah? Misalnya seseorang laki-laki berkata seorang perempuan yang bukan isterinya “jika aku menikahimu maka kamu tertalak” atau “setiap perempuan yang aku nikahi tertlak”
Hanafi: Ta’liq demikian hukumnya adalah sah dan jatuhlah talak, baik diucapkan secara mutlak atau umum maupun khusus.
Maliki: ta’liq tersebut sah dan lazim talak apabila ditentukan kabilahnya atau negerinya. Sedangkan jika ta’liq diutarakan secara umum maka ta’liq itu tidak sah dan tidak jatuh talak. Syafi’i dan Hambali: ta’liq yang demikian tidak sah dan tidak lazim talak secara mutlak.[18]

4.      KHI Pasal 116 huruf (h): Bercerai karena terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Hanafi & Maliki: Jika salah seorang suami isteri keluar dari agama Islam (murtad), maka secepatnya mereka harus bercerai (mutlak), baik murtadnya sebelum bercampur maupun sesudahnya.
Syafi’i dan Hambali: Jika murtadnya sebelum terjadi dukhul maka harus secepatnya bercerai, namun jika sudah dukhul hendaknya ditunggu hingga ‘iddah-nya selesai.
Hanafi, Syafi’i dan Hambali : Tidak bercerai apabila keduanya sama-sama murtad, berbeda dengan Maliki yang mengharuskan bercerai alias pernikahannya batal.[19]

5.      Dan lain-lain.




[1] Taqiyuddin Abu Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam, 1993), juz.11, hlm. 175.
[2] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang Perkawinan No.1 Tahun 1974, (Yogyakarta: PT.Liberti, 2004), hlm. 103.

[3] As-Sayyid Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz III, hlm. 206.
[4] Abdur Rahman al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyah al-Kubra, 1969), juz IV, hlm. 278.
[5] Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, al-Hikmah dan DITBINBAPERA, Jakarta. No. 52 Th XII 2001 hlm. 7.
[6] Supriatna dkk, Fiqh Munakahat II, hlm. 17.
[7] Dzamil Latif, Aneka Hukum Perceraian di Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 38.
[8] Wasman dan Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan di Indonesia Perbandingan fiqih dan Hukum Positif, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 86.
[9] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, cet. Ke-2, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 152.
[10] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 114 dan 115.
[11] Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 153.
[12] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 117.
[13] Kompilasi Hukum Islam, Pasal 118-126.
[14] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta: CV Al-Hidayah, 1968), hlm. 113.
[15] Muhammad bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, cet. Ke-13, alih bahasa: ‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2010), hlm. 366.
[16] Ibid., hlm. 363.
[17] Ibid., hlm. 354.
[18] Ibid., hlm. 366.
[19] Ibid., hlm. 350.

0 komentar:

Posting Komentar

SPONSORED