A. Gambaran Umum
Tentang Perceraian
1.
Defenisi Perceraian
Perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar
“cerai”. Menurut istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan
ikatan pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah dipergunakan pada
masa jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’.[1]
Dalam istilah Fiqh perceraian dikenal dengan istilah “Talak” atau “Furqah”.
Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian, Sedangkan furqah
berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul. Perkataan talak dan furqah
mempunyai pengertian umum dan khusus. Dalam arti umum berarti segala macam
bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim.
Sedangkan dalam arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan oleh pihak suami.[2]
Mengenai talak Sayyid Sabiq mengartikannya sebagai perbuatan
melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.[3]
Sementara Abdurr Rahman al-Jaziri mengatakan bahwa talak adalah usaha
menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan
menggunakan lafaz khusus.[4]
Menurut HA. Fuad Sa’id yang dimaksud dengan perceraian adalah
putusnya perkawinan antara suami dengan istri karena tidak terdapat kerukunan
dalam rumah tangga atau sebab lain, seperti mandulnya istri atau suami dan
setelah diupayakan perdamaian dengan melibatkan keluarga kedua belah pihak.[5]
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI tidak terdapat
pengertian yang jelas dan tegas tentang perceraian, keduanya hanya mengatur
tentang sebab dan akibat putusnya perkawinan yang berujung pada perceraian
pasangan suami isteri (pasutri).
2.
Klasifikasi Perceraian
Menurut hukum Islam, perceraian dapat dilakukan dengan beberapa
cara tergantung dari pihak siapa yang menghendaki atau berinisiatif untuk
memutuskan ikatan perkawinan (perceraian) tersebut. Dalam hal ini ada empat
kemungkinan dalam perceraian:
a)
Perceraian atas kehendak suami
dengan alasan tertentu dan kehendaknya itu dinyatakan dengan ucapan tertentu
atau tulisan dan isyarat bagi yang tidak bisa berbicara. Termasuk dalam hal ini
talak, ila’dan dhihar.
b)
Perceraian atas kehendak isteri
dengan alasan isteri tidak sanggup melanjutkan perkawinan karena ada sesuatu
yang dinilai negatif pada suaminya sementara suaminya tidak mau menceraikannya.
Bentuk ini disebut sebagai khulu’.
c)
Perceraian melalui putusan hakim
sebagai pihak ketiga setelah melihat adanya sesuatu pasa suami atau pada isteri
yang menunjukkan hubungan perkawinan mereka tidak bisa dilanjutkn. Bentuk ini
disebut sebagai fasakh.
d)
Perceraian (putusnya pernikahan)
atas kehendak Allah swt, yaitu ketika salah satu dari pasangan suami dan isteri
meninggal dunia.[6]
Undang-undang perkawinan yakni Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 jo.
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 jo. Peraturan Menteri Agama No. 3 Tahun
1975, mengadakan klasifikasi perceraian sebagai berikut:
a)
Perceraian karena kematian
b)
Perceraian yang berbentuk
cerai-talak dan cerai-gugat
c)
Perceraian karena keputusan
pengadilan[7]
Lebih terang lagi Wasman bersama Wardah Nuroniyah menggambarkan
setidaknya ada sembilan macam bentuk yang akan memutuskan (cerai) pernikahan
suami isteri yaitu: 1). Talak, 2). Khulu’, 3). Syiqaq, 4). Fasakh,
5). Ta’lik Thalaq, 6). Ila’, 7). Zhihar, 8). Li’an,
9). Maut.[8]
Kami (penyusun) tidak akan membahas lebih dalam tentang kesembilan bentuk dan
penyebab perceraian tersebut.
B.
Ketentuan Hukum
Perceraian dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal
ini sesuai ketentuan Pasal 113 Kompilasi Hukum Islam (KHI), yang mengatur bahwa
putusnya perkawinan dapat dikarenakan tiga alasan sebagai berikut: 1).
Kematian, 2). Perceraian, 3). Putusan Pengadilan.[9]
KHI juga menyatakan bahwa putusnya perkawinan yang disebabkan
karena perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian
oleh isteri. Selanjutnya menurut KHI menyatakan bahwa perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah pengadilan tersebut berusaha
dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak (suami dan isteri).[10]
Selanjutnya dalam Pasal 116 KHI alasan-alasan terjadinya perceraian
pasangan suami isteri dapat disebabkan karena:
1.
Salah satu pihak berbuat zina atau
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, atau lain sebagainya yang sulit disembuhkan;
2.
Salah satu pihak meninggalkan pihak
lain selama, 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
3.
Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
4.
Salah satu pihak melakukan kekejaman
atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain;
5.
Salah satu pihak mendapat cacat
badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau isteri;
6.
Terjadi perselisihan dan
pertengkaran antara suami isteri secara terus menerus dan tidak ada harapan
akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya;
7.
Suami melanggar taklik-talak, adalah
perjanjian yang diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang
dicantumkan dalam Akta Nikah.
8.
Terjadinya peralihan agama atau murtad
oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah
tangga.[11]
Perceraian yang terjadi karena talak suami isterinya ditandai
dengan adanya pembacaan ikrar talak, yaitu ikrar suami di hadapan sidang
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dan
dilakukan sesuai tata cara perceraian yang diatur dalam Pasal 129, 130, dan
131.[12]
Sedangkan macam-macam perceraian yang dikarenakan talak suami
terdiri dari:[13]
1.
Talak Raj’i yaitu talak kesatu atau
kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah;
2.
Talak Ba'in (shugro dan kubraa). Shughra
adalah talak yang tidak boleh dirujuk tetapi diperbolehkan akad nikah baru
dengan mantan suaminya meskipun dalam masa iddah, talak ini dibagi menjadi
tiga, yaitu: talak yang terjadi qabla al-dukhul, talak dengan tebusan atau
khulu’ dan talak yang dijatuhkan oleh pengadilan agama. Adapun kubraa adalah
talak yang terjadi untuk ketiga kalinya;
3.
Talak Sunny, yaitu talak yang
diperbolehkan dan talak tersebut dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci
serta tidak dicampuri dalam waktu suci;
4.
Talak Bid'i, yaitu talak yang
dilarang, karena talak tersebut dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan
haid, atau isteri dalam keadaan suci tetapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut;
5.
Talak Li'an yaitu talak yang terjadi
karena suami menuduh isterinya berbuat zina atau mengingkari anak dalam
kandungan atau anak yang sudah lahir dari kandungan isterinya, sedangkan
isterinya menolak atau mengingkari tuduhan tersebut. Jenis talak Li'an ini
menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.
Mengingat putusnya perkawinan yang dikarenakan talak suami terhadap
isterinya terdapat beberapa macam yang tidak seluruhnya dapat dirujuk kembali,
sehingga diperlukan pertimbangan yang bersifat prinsipal bagi seorang suami
sebelum menjatuhkan talaknya. Demikian halnya dalam ajaran agama Islam, talak
merupakan perbuatan halal tetapi dibenci oleh Allah SWT. Oleh karena itu
menurut Mahmud Yunus diperlukan alasan-alasan bagi suami untuk menjatuhkan
talaknya terhadap isterinya yang diperbolehkan dan tidak dibenci oleh Allah
SWT, terdiri dari:
1.
Isteri berbuat zina;
2.
Isteri nusyuz, setelah diberi
nasihat dengan segala daya upaya;
3.
Isteri suka mabuk, penjudi, atau
melakukan kejahatan yang mengganggu keamanan rumah tangga;
4.
Sebab-sebab lain yang sifatnya berat
sehingga tidak memungkinkan untuk mendirikan rumah tangga secara damai dan
teratur.[14]
C. Pengaruh Pemikiran Mazhab dalam Ketentuan Hukum Perceraian
Indonesia (KHI)
1.
KHI Pasal 114: Perceraian dapat
terjadi karena talak oleh suami atau gugatan perceraian oleh isteri.
Apakah yang menjatuhkan talak itu laki-laki atau perempuan?
Maliki, Syafi’i dan Hambali: yang menjatuhkan talak adalah
laki-laki (suami). Hanafi: yang menjatuhkan talak adalah perempuan.[15]
Para imam mazhab sepakat bahwa seorang isteri, apabila sudah tidak senang lagi
kepada suaminya lantaran keburukan mukanya atau buruk pergaulannya, boleh
menebus dirinya dari suaminya dengan suatu pembayaran (khulu’).[16]
2.
KHI Pasal 116 huruf (e): Bercerai karena
Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak
menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri.
Cacat yang
menyebabkan bolehnya khiyar, yaitu memilih antara meneruskan pernikahan
atau membatalkannya, ada sembilan perkara. Gila, kusta dan sopak yang ada pada
suami dan isteri. Putus zakar dan impoten dari suami, adapun dari isteri adalah
tumbuh tulang pada kemaluan, kemaluannya buntu, tersumbat daging dan lubang
kemaluannya terlalu basah.[17]
Hanafi: suami tidak
mempunyai hak khiyar lantaran alasan tersebut, namun isteri boleh khiyar
jika suami putus zakar dan impoten.
Maliki &
Syafi’i: suami dan isteri beleh khiyar kecuali sobek antara saluran
kencing dan lubang kemaluan. Hambali menetapkan semuanya menyebabkan
bolehnya khiyar.
3.
KHI Pasal 116 huruf (g): Bercerai
karena Suami melanggar taklik-talak.
Apakah ta’liq talak itu sah? Misalnya seseorang laki-laki
berkata seorang perempuan yang bukan isterinya “jika aku menikahimu maka kamu
tertalak” atau “setiap perempuan yang aku nikahi tertlak”
Hanafi: Ta’liq demikian hukumnya adalah sah dan jatuhlah talak,
baik diucapkan secara mutlak atau umum maupun khusus.
Maliki: ta’liq tersebut sah dan lazim talak apabila ditentukan
kabilahnya atau negerinya. Sedangkan jika ta’liq diutarakan secara umum
maka ta’liq itu tidak sah dan tidak jatuh talak. Syafi’i dan Hambali:
ta’liq yang demikian tidak sah dan tidak lazim talak secara mutlak.[18]
4.
KHI Pasal 116 huruf (h): Bercerai karena
terjadinya peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan
terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Hanafi &
Maliki:
Jika salah seorang suami isteri keluar dari agama Islam (murtad), maka
secepatnya mereka harus bercerai (mutlak), baik murtadnya sebelum bercampur
maupun sesudahnya.
Syafi’i dan
Hambali: Jika murtadnya sebelum terjadi dukhul maka harus secepatnya
bercerai, namun jika sudah dukhul hendaknya ditunggu hingga ‘iddah-nya
selesai.
Hanafi, Syafi’i
dan Hambali : Tidak bercerai apabila keduanya sama-sama murtad, berbeda dengan
Maliki yang mengharuskan bercerai alias pernikahannya batal.[19]
5.
Dan lain-lain.
[1] Taqiyuddin Abu
Bakar Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, (Surabaya: Bina Imam,
1993), juz.11, hlm. 175.
[2] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974, (Yogyakarta: PT.Liberti, 2004), hlm. 103.
[3] As-Sayyid
Sabiq, Fiqhu as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), juz III, hlm. 206.
[4] Abdur Rahman
al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Mesir: al-Maktabah
at-Tijariyah al-Kubra, 1969), juz IV, hlm. 278.
[5] Abdul Manan, Problematika
Perceraian Karena Zina dalam Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan
Peradilan Agama, dalam Jurnal Mimbar Hukum, al-Hikmah dan DITBINBAPERA,
Jakarta. No. 52 Th XII 2001 hlm. 7.
[6] Supriatna dkk,
Fiqh Munakahat II, hlm. 17.
[7] Dzamil Latif, Aneka
Hukum Perceraian di Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta Timur: Ghalia Indonesia,
1985), hlm. 38.
[8] Wasman dan
Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan di Indonesia Perbandingan fiqih dan Hukum
Positif, cet. Ke-1, (Yogyakarta: Teras, 2011), hlm. 86.
[9] Mohd. Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, cet. Ke-2, (Jakarta: Bumi Aksara,
1999), hlm. 152.
[10] Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 114 dan 115.
[11] Mohd. Idris
Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, hlm. 153.
[12] Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 117.
[13] Kompilasi
Hukum Islam, Pasal 118-126.
[14] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan
dalam Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali, (Jakarta:
CV Al-Hidayah, 1968), hlm. 113.
[15] Muhammad bin
‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, cet. Ke-13, alih bahasa:
‘Abdullah Zaki Alkaf, (Bandung: Hasyimi, 2010), hlm. 366.
[16] Ibid.,
hlm. 363.
[17] Ibid.,
hlm. 354.
[18] Ibid.,
hlm. 366.
[19] Ibid.,
hlm. 350.