Definisi dari Epistemologi
Secara etimologi, kata epistemologi
berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan,
sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, epistemologi adalah teori tentang
pengetahuan. Dan juga merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan.
Istilah epistemologi terkait dengan :
a. Filsafat, yaitu sebagai ilmu berusaha
mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
b. Metode, yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan
manusia untuk memperoleh pengetahuan.
c. Sistem, yaitu sebagai suatu sistem
bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.
Terdapat
tiga persoalan pokok dalam bidang epistimologi :
1. Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah
datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2. Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa
ada dunia yang benar-benar di luar pilkiran kita? Dan kalau ada apakah kita bisa
mengetahuinya?
3. Apakah pengetahuan itu benar (valid)?
Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?
Secara umum pertanyaan-pertanyaan
epistimologis menyangkut dua macam, yakni epistimologi kefilsafatan yang erat
hubungannnya dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantik yang
menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut.
Epistimologi meliputi tata cara dan
sarana untuk mencapai pemgetahuan. Perbedaan mengenai pemilihan ontologik akan
mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman,
budi, intuisi, atau sarana yang lain. Ditunjukan bagaimana kelebihan dan
kelemahan suatu cara pendekatan dan batas-batas validitas dari suatuyang diperoleh
melalui suatu cara pendekatan ilmiah.
Dalam perspektif Barat dikenal adanya
tiga aliran epistemologi, yaitu empirisme, rasionalisme, dan positivisme.
Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan penyelidikan ilmiah
secara empiris. Aliran rasionalisme menganggap empirisme memiliki kelemahan
karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas, sehingga alat indera
diposisikan sebagai alat yang menyebabkan akal bekerja.
Sedangkan metode positivisme yang
dikemukakan August Comte menyatakan bahwa hasil penginderaan menurut
rasionalisme adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak sistematis. Aliran
positivisme menganggap bahwa penginderaan itu harus dipertimbangkan oleh akal,
kemudian disistemisasi sehingga terbentuk pengetahuan.
Epistemologi-epistemologi dalam dunia
Barat tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan berpusat pada dua hal, indera
dan rasio. Ini menunjukkan bahwa pusat dari epistemologi adalah manusia
sendiri. Didalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada manusia. Manusia
bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan kebenaran seenaknya. Semuanya
berpusat kepada Allah. Di satu pihak, epistemologi Islam berpusat pada Allah,
dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Namun,
bukan berarti manusia tidak penting. Di pihak lain, epistemologi Islam berpusat
pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan.
Seperti telah disebutkan pada bagian
awal dari pembahasan ini, setidaknya ada tiga model berfikir yang umum dipaakai
oleh banyak kalangan manusia. Berikut akan kami uraikan tiga model berpikir
yang umum dipakai dalam studi (kajian) islam, oleh al-Jabiri yakni :
1.Model Linguistik atau tekstual
(bayani),
2.Model Demonstratif (Burhani), dan
3.Gnostik atau intuitif (`Irfani).
- Epistemologi
Bayani
Epistimologi
bayani adalah pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber epistemologi
bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi
dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash
berupa karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini
cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content). Ada
beberapa kritik yang muncul terhadap epistemologi bayani yang dianggap menjadi
titik kelemahan dari epistemologi ini. Diantaranya adalah :
1) Epistemology ini menempatkan teks yang
dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti
dan diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh dipertanyakan apalagi
ditolak.
2) Teks yang dikaji pada epistemology
bayani tidak didekati atau diteliti historitasnya, barangkali historitas
aslinya berbeda dengan historitas kita pada zaman global, post industry dan
informatika, meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini
untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks.
3) Kajian dalam model epistemology bayani
ini tidak diperkuat dengan analisis konteks, bahkan konstektualisasi
(relevansi).
Sebenarnya
model berpikir semacam ini sudah lama
dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Mereka banyak
berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan untuk :
a) Memahami atau menganalisis teks
guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki)
lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna
zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan
b) mengambil istinbat hukum-hukum
dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.
Dalam
bahasa filsafat yang disederhanakan, epistimologi bayani dapat diartikan
sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks
sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab.
Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Untuk
itu epistemologi bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu
bahasa dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal
sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci yang sering dijumpai dalam
pendekatan ini meliputi asli, far'I, lafz ma'na, khabar qiyas, dan otoritas
salaf (sultah al-salaf).
Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4
macam bayan :
Ø
Bayan
al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang
meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b)
al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
Ø
Bayan
al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq,
makna muasyabbih fih, dan makna bathil;
Ø
Bayan
al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan
tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan
khabar; dan
Ø
Bayan
al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari
katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.
Dalam epistemologi bayani, oleh karena
dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat
pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam
aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih
qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu bukan berarti model
berpikir yang semacam ini tidak memiliki kelemahan. Hanya sekedar memperjelas titik
kelemahan dari epistemology bayani yang kami sebutkan di atas, kelemahan
mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang
berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada
pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah
teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar
Bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, sehingga
dari sikap ini muncul suatu konsep atau sikap, pemahaman dengan semboyan kurang
lebih :
"right or wrong is my country"
(dalam
konteks ini tentu diterjemahkan : salah atau benar, yang penting inilah agama
saya).
B. Epistemologi Burhani
Burhan
adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum -hukum
logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan
komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa teks wahyu
suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani
adalah realitas dan empiris yang berkaitan dengan alam, social, dan humanities.
Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil
eksperimen, baik di labolatorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat alam
maupun social. Corak model berpikir yang digunakan adalah induktif, yakni
generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Mengenai
model berpikir bayani dan burhani Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak
dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun,
bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa
dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan
kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang
mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi,
deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah).
Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya
sebagai sumber kajian.
Dari
pendapat tersebut kita seharusnya bisa mengambil sikap terhadap kedua
epistemology bayani dan epistemology burhani, bukan berarti harus dipisahkan
dan hanya boleh mengambil atau memilih salah satu diantara keduanya. Malah
untuk menyelesaikan problem-problem social dan dalam studi islam justru
dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar aduktif,
yakni mencoba untuk memadukan model berpikir deduktif dan model berpikir
induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat konstektual terhadap nash
dan hasil penelitian-penelitian empiris justru kelak melahirkan ilmu islam yang
sempurna dan lengkap (konprehensif), luar biasa, dan kelak dapat menuntaskan
problem-problem masa kini khususnya di Indonesia.
Lepasnya
pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu
Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah
talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini, pada
akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai
Hermaneutika Otoriter (Authoritharian hermeneutic).Hermeneutika Otoriter
terjadi ketika pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif
dan selektif serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks.
Realitas
yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah
(tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah).
Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang
saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan
konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca
dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi
kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena
burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam
pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu :
1. Ilmu al-lisan,
yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam
ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara
merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah
yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. dan
2. Ilmu al-mantiq,
yang membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat
menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap
diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan
gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya.Tujuannya adalah untuk menetapkan
aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara
mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.
Dalam
tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan
falsafat al-thani.
ü Falsafat al-ula membahas hal-hal yang
berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir (jawahir ula atau ashkhas
dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah, dan asbab yang terjadi
pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang
berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia).
ü Sedangkan falsafat al-thaniyah atau
disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1) hukum-hukum yang berlaku
secara alami baik pada alam semesta (al-sunnah al-alamiyah) maupun manusia
(al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah
qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang bersifat plural (mutanawwi'ah).
Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang
atau berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).
Dalam
perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai
pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and
profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang
berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science,
al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora (humanities, al-'ulum al-insaniyyah).
Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban,
nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh
karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan
sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan
pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah),
kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi
ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan
sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas
sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan
metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman dapat didekati secara
lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta
masyarakat utama.
Pendekatan
antropologi bermanfaat untuk mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka
melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya
Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya
dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan
pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar
upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam
Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu,
dibutuhkan juga
Pendekatan
sejarah (tarikhiyyah) untuk mengetahui konteks sejarah masa lalu, kini dan akan
datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas
dan perubahan). Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang
baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to
date.
Kelemahan
dan kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan burhani ini adalah sering
tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika
dalam permasalahannya ada yang diutamakan antara teks atau konteks. Sebagaimana
kita ketahui bahwa masyarakat lebih banyak memenangkan tekstualitas daripada
kontekstualitasnya, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak
sedikit.
C.
Epistimologi Irfani
Irfan
mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham
dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis.
Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi
pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana
qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan
irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam
oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin
lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari
Al-Qur'an.
Pendekatan
irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin,
dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan
meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj
ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan
riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi),
yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui
analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan
angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi
silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah
adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga
menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan
mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan
dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di
balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik
yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di
atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup
ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata
kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil,
haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi
3 segi : 1)siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian
ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan
makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3)
metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang
berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan
'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an
bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan
upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan
berkaitan dengan warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk
menangkap makna batinnya.
Contoh
konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang
pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif
harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan
tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan,
bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan
contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita
pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam
kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat
dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyekyif, namun semua orang
dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan
tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat
intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif
tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama,
tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup
tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima
"pengalaman". Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap
konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di
mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga
kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi
dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri
agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan
mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang
lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki
substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang
transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan
simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya
kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan
peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Berikut ini adalah tabel perbandingan
antara ketiga epistemologi Islam yang telah dijelaskan sebelumnya, epistemologi
bayani, irfani, dan burhani :
Tabel
1. Perbandingan Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani
|
Bayani
|
Irfani
|
Burhani
|
Sumber
|
Teks
Keagamaan/
Nash
|
Ilham/ Intuisi
|
Rasio
|
Metode
|
Istinbat/ Istidlal
|
Kasyf
|
Tahlili
(analitik),
Diskursus
|
Pendekatan
|
Linguistik
|
Psikho-Gnostik
|
logika
|
Tema
sentral
|
Ashl
– Furu’
Kata
– Makna
|
Zahir
– Batin
Wilayah
– Nubuwah
|
Essensi
– Aksistensi
Bahasa
– Logika
|
Validitas kebenaran
|
Korespondensi
|
Intersubjektif
|
Koherensi
Konsistensi
|
Pendukung
|
Kaum
Teolog,
ahli
Fiqh,
ahli Bahasa
|
Kaum Sufi
|
Para Filosof
|
D. Kesimpulan
Dari
pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi bayani
menekankan kajian dari teks (nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi
dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun
di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian
(al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi
burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah,
inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al tajribah wa
muhakamah 'aqliyah) [6]
Sikap
terhadap ketiga epistimologi diatas yaitu, bayani, burhani, dan irfani bukan
berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah
untuk menyelesaikan problem-problem dalam studi islam justru dianjurkan untuk
memadukan ketiganya. Dari perpaduan ketiganya akan muncul ilmu islam yang
lengkap (komprehensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial
kekinian dan keindonesiian.
DAFTAR PUSAKA
1. Nasrah, “Pengetahuan Manusia dan
Epistemologi Islam”,
Universitas Sumatera Utara
2. Nasution, Khoiruddin, “Pengantar
Studi islam”.
Yogyakarta:
Tazzaff dan ACAdeMIA, 2009.
3. Zainuddin, M. “Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam”.
Yogyakarta
: Bayu Media, 2003.
/waktu
akses : 1 november 2009.
/waktu akses : 1 november 2009.
/waktu akses : 10 oktober 2009.