Pages

Subscribe:

Labels

Sabtu, 27 April 2013

Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani (3-sempurna)


Definisi dari Epistemologi
Secara etimologi, kata epistemologi berasal dari kata Yunani, episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi, epistemologi adalah teori tentang pengetahuan. Dan juga merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal-muasal, metode-metode dan sahnya ilmu pengetahuan.
Istilah epistemologi terkait dengan :
a.       Filsafat, yaitu sebagai ilmu berusaha mencari hakekat dan kebenaran pengetahuan.
b.      Metode, yaitu sebagai metode bertujuan mengantarkan manusia untuk memperoleh pengetahuan.
c.       Sistem, yaitu sebagai suatu sistem bertujuan memperoleh realitas kebenaran pengetahuan.

Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang epistimologi :
1.      Apakah sumber pengetahuan itu? Dari manakah datangnya pengetahuan yang benar itu? Dan bagaimana cara mengetahuinya?
2.      Apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apa ada dunia yang benar-benar di luar pilkiran kita? Dan kalau ada apakah kita bisa mengetahuinya?
3.      Apakah pengetahuan itu benar (valid)? Bagaimana kita dapat membedakan yang benar dari yang salah?
Secara umum pertanyaan-pertanyaan epistimologis menyangkut dua macam, yakni epistimologi kefilsafatan yang erat hubungannnya dengan psikologi dan pertanyaan-pertanyaan semantik yang menyangkut hubungan antara pengetahuan dengan objek pengetahuan tersebut.
Epistimologi meliputi tata cara dan sarana untuk mencapai pemgetahuan. Perbedaan mengenai pemilihan ontologik akan mengakibatkan perbedaan sarana yang akan digunakan yaitu: akal, pengalaman, budi, intuisi, atau sarana yang lain. Ditunjukan bagaimana kelebihan dan kelemahan suatu cara pendekatan dan batas-batas validitas dari suatuyang diperoleh melalui suatu cara pendekatan ilmiah.
Dalam perspektif Barat dikenal adanya tiga aliran epistemologi, yaitu empirisme, rasionalisme, dan positivisme. Aliran empirisme berdasarkan pada alam, sesuai dengan penyelidikan ilmiah secara empiris. Aliran rasionalisme menganggap empirisme memiliki kelemahan karena alat indera mempunyai kemampuan yang terbatas, sehingga alat indera diposisikan sebagai alat yang menyebabkan akal bekerja.
Sedangkan metode positivisme yang dikemukakan August Comte menyatakan bahwa hasil penginderaan menurut rasionalisme adalah sesuatu yang tidak jelas dan tidak sistematis. Aliran positivisme menganggap bahwa penginderaan itu harus dipertimbangkan oleh akal, kemudian disistemisasi sehingga terbentuk pengetahuan.
Epistemologi-epistemologi dalam dunia Barat tersebut memperlihatkan bahwa pengetahuan berpusat pada dua hal, indera dan rasio. Ini menunjukkan bahwa pusat dari epistemologi adalah manusia sendiri. Didalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada manusia. Manusia bukanlah makhluk mandiri yang dapat menentukan kebenaran seenaknya. Semuanya berpusat kepada Allah. Di satu pihak, epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Namun, bukan berarti manusia tidak penting. Di pihak lain, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan.
Seperti telah disebutkan pada bagian awal dari pembahasan ini, setidaknya ada tiga model berfikir yang umum dipaakai oleh banyak kalangan manusia. Berikut akan kami uraikan tiga model berpikir yang umum dipakai dalam studi (kajian) islam, oleh al-Jabiri yakni :  
1.Model Linguistik atau tekstual (bayani),
2.Model Demonstratif (Burhani), dan
3.Gnostik atau intuitif (`Irfani).

  1. Epistemologi Bayani
Epistimologi bayani adalah pendekatan dengan cara menganilis teks. Maka sumber epistemologi bayani adalah teks. Sumber teks dalam studi Islam dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : teks nash (al-Qur`an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW) dan teks non-nash berupa karya para ulama. Adapun corak berpikir yang diterapkan dalam ilmu ini cenderung deduktif, yakni mencari (apa) isi dari teks (analisis content). Ada beberapa kritik yang muncul terhadap epistemologi bayani yang dianggap menjadi titik kelemahan dari epistemologi ini. Diantaranya adalah :
1)      Epistemology ini menempatkan teks yang dikaji sebagai suatu ajaran yang mutlak (dogma) yang harus dipatuhi, diikuti dan diamalkan, tidak boleh diperdebatkan, tidak boleh dipertanyakan apalagi ditolak.
2)      Teks yang dikaji pada epistemology bayani tidak didekati atau diteliti historitasnya, barangkali historitas aslinya berbeda dengan historitas kita pada zaman global, post industry dan informatika, meestinya harus mendapat perhatian ketika dikaji pada masa kini untuk diberlakukan pada masa kini yang berbeda konteks.
3)      Kajian dalam model epistemology bayani ini tidak diperkuat dengan analisis konteks, bahkan konstektualisasi (relevansi).

Sebenarnya model berpikir semacam ini sudah  lama dipergunakan oleh para fuqaha', mutakallimun dan ushulliyun. Mereka banyak berpendapat bahwa bayani adalah pendekatan untuk :
a) Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (atau dikehendaki) lafadz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafz dan 'ibarah yang zahir pula; dan
b) mengambil istinbat hukum-hukum dari al-nusus al-diniyah dan al-Qur'an khususnya.

Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, epistimologi bayani dapat diartikan sebagai Model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran sebuah kitab. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya.
Untuk itu epistemologi bayani menggunakan alat bantu (instrumen) berupa ilmu-ilmu bahasa dan uslub-uslubnya serta asbabu al-nuzul, dan istinbat atau istidlal sebagai metodenya. Sementara itu, kata-kata kunci yang sering dijumpai dalam pendekatan ini meliputi asli, far'I, lafz ma'na, khabar qiyas, dan otoritas salaf (sultah al-salaf).

Dalam epistemologi bayani dikenal ada 4 macam bayan :
Ø  Bayan al-i'tibar, yaitu penjelasan mengenai keadaan, keadaan segala sesuatu, yang meliputi : a) al-qiyas al-bayani baik al-fiqgy, al-nahwy dan al-kalamy; dan b) al-khabar yang bersifat yaqin maupun tasdiq;
Ø  Bayan al-i'tiqad, yaitu penjelasan mengenai segala sesuatu yang meliputi makna haq, makna muasyabbih fih, dan makna bathil;
Ø  Bayan al-ibarah yang terdiri dari : a) al-bayan al-zahir yang tidak membutuhkan tafsir; dan b) al-bayan al-batin yang membutuhkan tafsir, qiyas, istidlal dan khabar; dan
Ø  Bayan al-kitab, maksudnya media untuk menukil pendapat-pendapat dan pemikiran dari katib khat, katib lafz, katib 'aqd, katib hukm, dan katib tadbir.

Dalam epistemologi bayani, oleh karena dominasi teks sedemikian kuat, maka peran akal hanya sebatas sebagai alat pembenaran atau justifikasi atas teks yang dipahami atau diinterpretasi. Dalam aplikasinya, pendekatan bayani akan memperkaya lilmu fikih dan ushul fikih, lebih-lebih qawaidul lughahnya.
Namun, hal itu bukan berarti model berpikir yang semacam ini tidak memiliki  kelemahan. Hanya sekedar memperjelas titik kelemahan dari epistemology bayani yang kami sebutkan di atas, kelemahan mencolok pada Nalar Bayani adalah ketika harus berhadapan dengan teks-teks yang berbeda, milik komunitas, bangsa, atau masyarakat lainnya. Karena otoritas ada pada teks, dan rasio hanya berfungsi sebagai pengawal teks, sementara sebuah teks belum tentu diterima oleh golongan lain, maka ketika berhadapan, Nalar Bayani menghasilkan sikap mental yang dogmatis, defensif dan apologetik, sehingga dari sikap ini muncul suatu konsep atau sikap, pemahaman dengan semboyan kurang lebih :
"right or wrong is my country"
(dalam konteks ini tentu diterjemahkan : salah atau benar, yang penting inilah agama saya).

B.     Epistemologi Burhani
Burhan adalah pengetahuan yang diperoleh dari indera, percobaan dan hukum -hukum logika. Maksudnya bahwa untuk mengukur atau benarnya sesuatu adalah berdasarkan komponen kemampuan alamiah manusia berupa pengalaman dan akal tanpa teks wahyu suci, yang memuncukan peripatik. Maka sumber pengetahuan dengan nalar burhani adalah realitas dan empiris yang berkaitan dengan alam, social, dan humanities. Artinya ilmu diperoleh sebagai hasil penelitian, hasil percobaan, hasil eksperimen, baik di labolatorium maupun di alam nyata, baik yang bersifat alam maupun social. Corak model berpikir yang digunakan adalah induktif, yakni generalisasi dari hasil-hasil penelitian empiris.
Mengenai model berpikir bayani dan burhani Van Peursen mengatakan bahwa akal budi tidak dapat menyerap sesuatu, dan panca indera tidak dapat memikirkan sesuatu. Namun, bila keduanya bergabung timbullah pengetahuan, sebab menyerap sesuatu tanpa dibarengi akal budi sama dengan kebutaan, dan pikiran tanpa isi sama dengan kehampaan. Burhani atau pendekatan rasional argumentatif adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada kekuatan rasio melalui instrumen logika (induksi, deduksi, abduksi, simbolik, proses, dll.) dan metode diskursif (bathiniyyah). Pendekatan ini menjadikan realitas maupun teks dan hubungan antara keduanya sebagai sumber kajian.
Dari pendapat tersebut kita seharusnya bisa mengambil sikap terhadap kedua epistemology bayani dan epistemology burhani, bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh mengambil atau memilih salah satu diantara keduanya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem social dan dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan keduanya. Dari perpaduan ini muncul nalar aduktif, yakni mencoba untuk memadukan model berpikir deduktif dan model berpikir induktif. Perpaduan antara hasil bacaan yang bersifat konstektual terhadap nash dan hasil penelitian-penelitian empiris justru kelak melahirkan ilmu islam yang sempurna dan lengkap (konprehensif), luar biasa, dan kelak dapat menuntaskan problem-problem masa kini khususnya di Indonesia.

Lepasnya pemahaman atas teks dari realita (konteks) yang mengitarinya, menurut Nasr Abu Zayd, akan menimbulkan pembacaan yang ideologis dan tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah). Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini, pada akhirnya akan mengarah pada apa yang oleh Khalid Abu Fadl disebut sebagai Hermaneutika Otoriter (Authoritharian hermeneutic).Hermeneutika Otoriter terjadi ketika pembacaan atas teks ditundukkan oleh pembacaan yang subjektif dan selektif serta dipaksakan dengan mengabaikan realitas konteks.
Realitas yang dimaksud mencakup realitas alam (kawniyyah), realitas sejarah (tarikhiyyah), realitas sosial (ijtimaiyyah) dan realitas budaya (thaqafiyyah). Dalam pendekatan ini teks dan realitas (konteks) berada dalam satu wilayah yang saling mempengaruhi. Teks tidak berdiri sendiri, ia selalu terikat dengan konteks yang mengelilingi dan mengadakannya sekaligus darimana teks itu dibaca dan ditafsirkan. Didalamnya ada maqulat (kategori-kategori) meliputi kully-juz'iy, jauhar-'arad, ma'qulat-alfaz sebagai kata kunci untuk dianalisis.
Karena burhani menjadikan realitas dan teks sebagai sumber kajian, maka dalam pendekatan ini ada dua ilmu penting, yaitu :
1.      Ilmu al-lisan, yang pertama membicarakan lafz-lafz, kaifiyyah, susunan, dan rangkaiannya dalam ibarat-ibarat yang dapat digunakan untuk menyampaikan makna, serta cara merangkainya dalam diri manusia. Tujuannya adalah untuk menjaga lafz al-dalalah yang dipahami dan menetapkan aturan-aturan mengenai lafz tersebut. dan
2.      Ilmu al-mantiq, yang membahas masalah mufradat dan susunan yang dengannya kita dapat menyampaikan segala sesuatu yang bersifat inderawi dan hubungan yang tetap diantara segala sesuatu tersebut, atau apa yang mungkin untuk mengeluarkan gambaran-gambaran dan hukum-hukum darinya.Tujuannya adalah untuk menetapkan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan cara kerja akal, atau cara mencapai kebenaran yang mungkin diperoleh darinya.

Dalam tradisi burhani juga kita mengenal ada sebutan falsafat al-ula (metafisika) dan falsafat al-thani.
ü  Falsafat al-ula membahas hal-hal yang berkaitan dengan wujud al-'arady, wujud al-jawahir (jawahir ula atau ashkhas dan jawahir thaniyah atau al-naw'), maddah dan surah, dan asbab yang terjadi pada a) maddah, surah, fa'il dan ghayah; dan b) ittifaq (sebab-sebab yang berlaku pada allam semesta) dan hazz (sebab-sebab yang berlaku pada manusia).
ü  Sedangkan falsafat al-thaniyah atau disebut juga ilmu al-tabi'ah, mengakaji masalah : 1) hukum-hukum yang berlaku secara alami baik pada alam semesta (al-sunnah al-alamiyah) maupun manusia (al-sunnah al-insaniyah); dan 2) taghayyur, yaitu gerak baik azali (harakah qadimah) maupun gerak maujud (harakahhadithah yang bersifat plural (mutanawwi'ah). Gerak itu dapat terjadi pada jauhar (substansi: kawn dan fasad), jumlah (berkembang atau berkurang), perubahan (istihalah), dan tempat (sebelum dan sesudah).

Dalam perkembangan keilmuan modern, falsafat al-ula (metafisika) dimaknai sebagai pemikiran atau penalaran yang bersifat abstrak dan mendalam (abstract and profound reasoning). Sementara itu, pembahasan mengenai hukum-hukum yang berlaku pada manusia berkembang menjadi ilmu-ilmu sosial (social science, al-'ulum al-ijtima'iyyah) dan humaniora (humanities, al-'ulum al-insaniyyah). Dua ilmu terakhir ini mengkaji interaksi pemikiran, kebudayaan, peradaban, nilai-nilai, kejiwaan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, untuk memahami realitas kehidupan sosial-keagamaan dan sosial-keislaman, menjadi lebih memadai apabila dipergunakan pendekatan-pendekatan sosiologi (sosiulujiyyah), antropologi (antrufulujiyyah), kebudayaan (thaqafiyyah) dan sejarah (tarikhiyyah), seperti yang menjadi ketetapan Munas Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam XXIV di Malang.
Pendekatan sosiologis digunakan dalam pemikiran Islam untuk memahami realitas sosial-keagamaan dari sudut pandang interaksi antara anggota masyarakat. Dengan metode ini, konteks sosial suatu prilaku keberagaman dapat didekati secara lebih tepat, dan dengan metode ini pula kita bisa melakukan reka cipta masyarakat utama.
Pendekatan antropologi bermanfaat untuk mendekati maslah-masalah kemanusiaan dalam rangka melakukan reka cipta budaya Islam. Tentu saja untuk melakukan reka cipta budaya Islam juga dibutuhkan pendekatan kebudayaan (thaqafiyyah) yang erat kaitannya dengan dimensi pemikiran, ajaran-ajarn, dan konsep-konsep, nilai-nilai dan pandangan dunia Islam yang hidup dan berkembang dalam masyarakat muslim. Agar upaya reka cipta masyarakat muslim dapat mendekati ideal masyarakat utama dalam Muhammadiyah, strategi ini pula menghendaki kesinambungan historis. Untuk itu, dibutuhkan juga
Pendekatan sejarah (tarikhiyyah) untuk mengetahui konteks sejarah masa lalu, kini dan akan datang berada dalam satu kaitan yang kuat dan kesatuan yang utuh (kontinuitas dan perubahan). Ada kesinambungan historis antara bangunan pemikiran lama yang baik dengan lahirnya pemikiran keislaman baru yang lebih memadai dan up to date.
Kelemahan dan kendala yang sering dihadapi dalam penerapan pendekatan burhani ini adalah sering tidak sinkronnya teks dan realitas. Produk ijtihadnya akan berbeda jika dalam permasalahannya ada yang diutamakan antara teks atau konteks. Sebagaimana kita ketahui bahwa masyarakat lebih banyak memenangkan tekstualitas daripada kontekstualitasnya, meskipun yang lebih cenderung kepada kontekspun juga tidak sedikit.

C.     Epistimologi Irfani
Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain : 'ilmu atau ma'rifah; metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam; dan al-ghanus atau gnosis. Ketika irfan diadopsi ke dalam Islam, para ahl al-'irfan mempermudahnya menjadi pembicaraannya mengenai; 1) al-naql dan al-tawzif; dan upaya menyingkap wacana qur'ani dan memperluas 'ibarahnya untuk memperbanyak makna. Jadi pendekatan irgani adalah suatu pendekatan yang dipergunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifun dan 'arifun untuk mengeluarkan makna batin dari batin lafz dan 'ibarah; ia juga merupakan istinbat al-ma'rifah al-qalbiyyah dari Al-Qur'an.
Pendekatan irfani adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrumen pengalam batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah dan intuisi. Sedangkan metode yang dipergunakan meliputi manhaj kashfi dan manhaj iktishafi. Manhaj kashfi disebut juga manhaj ma'rifah 'irfani yang tidak menggunakan indera atau akal, tetapi kashf dengan riyadah dan mujahadah. Manhaj iktishafi disebut juga al-mumathilah (analogi), yaitu metode untuk menyingkap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup : a) analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti 1/2 = 2/4 = 4/8, dst; b) tamthil yang meliputi silogisme dan induksi; dan c) surah dan ashkal. Dengan demikian, al-mumathilah adalah manhaj iktishafi dan bukan manhaj kashfi. Pendekatan 'irfani juga menolak atau menghindari mitologi. Kaum 'irfaniyyun tidak berurusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannya dari persoalan-persoalan agama dan dengan irfani pula mereka lebih mengupayakan menangkap haqiqah yang terletak di balik shari'ah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah wa al-ramziyah) di balik yang zahir (al-dalalah al-lughawiyyah). Dengan memperhatikan dua metode di atas, kita mengetahui bahwa sumber pengetahuan dalam irfani mencakup ilham/intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta'wil).
Kata-kata kunci yang terdapat dalam pendekatan 'irfani meliputi tanzil-ta'wil, haqiqi-majazi, mumathilah dan zahir-batin. Hubungan zahir-batin terbagi menjadi 3 segi : 1)siyasi mubashar, yaitu memalingkan makna-makna ibarat pada sebagian ayat dan lafz kepada pribadi tertentu; 2) ideologi mazhab, yaitu memalingkan makna-makna yang disandarkan pada mazhab atau ideologi tertentu; dan 3) metafisika, yakni memalingkan makna-makna kepada gambaran metafisik yang berkaitan dengan al-ilah al-mut'aliyah dan aql kully dan nafs al-kulliyah.
Pendekatan 'irfani banyak dimanfaatkan dalam ta'wil. Ta'wil 'irfani terhadap Al-Qur'an bukan merupakan istinbat, bukan ilham, bukan pula kashf. tetapi ia merupakan upaya mendekati lafz-lafz Al-qur'an lewat pemikiran yang berasal dari dan berkaitan dengan warisan 'irfani yang sudah ada sebelum Islam, dengan tujuan untuk menangkap makna batinnya.
Contoh konkrit dari pendekatan 'irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-batiniyyah) harus dipadu secara kreatif harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah al-dhawqiyah). Dengan pemaduan tersebut pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah.
Pengalaman batin Rasulullah saw. dalam menerima wahyu al-Qur'an merupakan contoh konkret dari pengetahuan 'irfani. Namun dengan keyakinan yang kita pegangi salama ini, mungkin pengetahuan 'irfani yang akan dikembangkan dalam kerangka ittiba' al-Rasul.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan 'irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif. Sifat intersubyektif tersebut dapat diformulasikan dalam tahap-tahap sebagai berikut. Pertama-tama, tahapan persiapan diri untuk memperoleh pengetahuan melalui jalan hidup tertentu yang harus ia ikuti untuk sampai kepada kesiapan menerima "pengalaman". Selanjutnya tahapan pencerahan dan terakhir tahap konstruksi. tahap terakhir ini merupakan upaya pemaparan secara simbolik di mana perlu, dalam bentuk uraian, tulisan dan struktur yang dibangun, sehingga kebenaran yang diperolehnya dapat diakses oleh orang lain.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah mengahmpiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan kepada Tuhan yang transhistoris, transkultural, dan dan transreligius diimbangi rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembanagan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah ilahiyah.
Berikut ini adalah tabel perbandingan antara ketiga epistemologi Islam yang telah dijelaskan sebelumnya, epistemologi bayani, irfani, dan burhani :

Tabel 1. Perbandingan Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani

Bayani
Irfani
Burhani
Sumber
Teks Keagamaan/
Nash
Ilham/ Intuisi
Rasio
Metode
Istinbat/ Istidlal
Kasyf
Tahlili (analitik),
Diskursus
Pendekatan
Linguistik
Psikho-Gnostik
logika
Tema sentral
Ashl – Furu’
Kata – Makna
Zahir – Batin
Wilayah – Nubuwah
Essensi – Aksistensi
Bahasa – Logika
Validitas kebenaran
Korespondensi
Intersubjektif
Koherensi
Konsistensi
Pendukung
Kaum Teolog,
ahli Fiqh,
ahli Bahasa
Kaum Sufi
Para Filosof

 D.  Kesimpulan
Dari pemaparan bentuk-bentuk metodologi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya terdapat benang merah antara ketiganya. Bahwa epistemologi bayani menekankan kajian dari teks (nas) ijma' dengan ijtihad sebagai referensi dasarnya dalam rangka menjustifikasi aqidah tertentu; sedangkan irfani dibangun di atas semangat intuisi (kashshf) yang banyak menekankan aspek kewalian (al-wilayah) yang inheren dengan ajaran monisme atau kesatuan dengan Tuhan dan epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konspetualisasi (al-hiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah) [6]
Sikap terhadap ketiga epistimologi diatas yaitu, bayani, burhani, dan irfani bukan berarti harus dipisahkan dan hanya boleh memilih salah satu diantaranya. Malah untuk menyelesaikan problem-problem dalam studi islam justru dianjurkan untuk memadukan ketiganya. Dari perpaduan ketiganya akan muncul ilmu islam yang lengkap (komprehensif), dan kelak dapat menuntaskan problem-problem sosial kekinian dan keindonesiian.

DAFTAR PUSAKA
1.      Nasrah, “Pengetahuan Manusia dan Epistemologi Islam”,
Universitas Sumatera Utara
2.      Nasution, Khoiruddin, “Pengantar Studi islam”.
                  Yogyakarta: Tazzaff dan ACAdeMIA, 2009.
3.      Zainuddin, M.  “Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam”.
Yogyakarta : Bayu Media, 2003.
/waktu akses : 1 november 2009.
/waktu akses : 1 november 2009.
 /waktu akses : 10 oktober 2009.
Read more >>

Jumat, 26 April 2013

Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani (2)


Pembahasan
Pada abad pertengahan, hegemoni antara akal akal dan iman benar-benar tidak seimbang. Pada abad itu akal kalah total dan iman menang mutlak, abad ini telah mempertontonkan kelambanan kemajuan manusia, padahal tadinya manusia itu sudah membuktikan bahwa ia mampu dan sanggup maju dengan cepat. Saat itu juga telah dipenuhi lembaraan hitam berupa pemusnahan orang-orang yang berfikir kreatif, karena pemikiraannya berlawanan dengan pikiran tokoh agama atau gereja. Untunglah pada abad-abad sekarang ini kejadian itu tidak kita temukan lagi, apalagi setelah datangnya islam yang ikut serta mendorong manusia untuk berpikir, untuk belajar, untuk maju tidak puas dengan apa yang telah ada.
Hingga saat ini model berfikir sudah berkembang pesat, pada umumnya dalam sejarah khazanah pemikiran umat manusia dan sekaligus menjadi tolak ukur kebenaran (benar atau tidaknya sesuatu) ada tiga model berpikir, yakni:
Model berfikir RASIONAL
Model berfikir rasional berpendapat bahwa untuk menemukan kebenaran dan sekaligus menjadi tolak ukur kebenaran dapat dilakukan dengan menggunakan akal secara logis. Maka benar atau tidaknya sesuatu diukur dengan rasionalitas akal. Dengan demikian dapat disebut objek kajian epistimologi rasional adalah hal-hal yang bersifat abstrak logis. Paradigmanya adalah logis, dan metode yang dipakai adalah ukuran rasionalitas, yakni dapat diterima atau tidak oleh akal. Diantara tokohnya adalah Descartes, Spinoza, dan Leibniz.
Model berpikir EMPIRIKAL
Adapun model berfikir empirikal berpendirian bahwa sumber pengetahuan adalah pengamatan dan pengalaman indrawi manusia. Maka indra manusia lah yang menjadi ukuran benar atau tidaknya sesuatu. Objek kajian epistimoligi empirikal, dengan demikian,adalah fakta empirik, dan yang mempunyai paradigma positivistik, yakni sesuatu yang dapat diamati (observable), dapat diukur (measurable), dan dapat dibuktikan ulang (verificable/verifiable). Metode yang dipakai adalah metode ilmiah, dengan ukuran empiris, yakni sesuai atau tidak dengan fakta. Diantara tokohnya adalah Jhon Locke, David Hume, dan Herbert Spencer.
Model berpikir INTUITIF (irrasional)
Sementara model berfikir intuitif (irrasional) berpandangan, bahwa kebenaran dapat digapai lewat pertimbangan-pertimbangan emosional (mukhasafah). Objek kajian epistimologi irrasional adalah hal-hal yang abstrak, dan mempunyai paradigma mistik atau ghaib. Adapun metode yang digunakan adalah latihan secara terus menerus atau mengasah secara berulang-ulan. Adapun  yang menjadi tolak ukur keakuratannya adalah kepuasan hati. Karena itu, perbedaan antara  epistimologi rasional dan irrasioanal terletak pada paradigma, metode dan ukuran. Filsafat menggunakan penalaran logis, metode rasional, dan ukuran logis. Sementara epistimologi irrasional menggunakana paradigma ghaib, latihan, dan kepuasan hati.
Read more >>

Epistemologi Bayani, Burhani dan Irfani (1)


Pendahuluan
            Ketika umat Islam berada dalam problem ketidakberdayaan dan keterbelakangan yang total, hanya satu yang bisa dibanggakan yaitu teks suci itu, pilihannya adalah apakah teks harus ditinggalkan atau bagaimana, jawabannya akan kita ketahui suatu saat nanti.

Al-Qur`an dan Al-Hadist sangat masyhur dengan nilai-nilai dan konsep untuk memberikan tuntunan hidup manusia, begitu juga mengenai petunjuk ilmu pengetahuan. Jika manusia mau meggali isi kandungannya niscaya akan banyak ditemukan beberapa persoalan tentang ilmu, baik ilmu pengetahuan social maupun ilmu pengetahuan alam. Betapa ilmu itu penting artinya, sehingga hampir setiap saat manusia tidak pernah lepas dari aktivitas pencarian ilmu tersebut karena keungggulan suatu umat manusia atau bangsa juga akan tergantung kepada seberapa banyak mereka menggunakan rasio, anugrah Tuhan itu untuk belajar dan memahami ayat-ayat Allah SWT. Hingga pada akhirnya Diapun mengangkat derajat orang yang berilmu ke derajat yang luhur.(QS. Al-Mujadalah : 11)

Dari segi metode ilmu diperoleh dari jalan Indrawi (pengamatan) dan pembuktian (verifikasi) yang berdasar experimentasi, sementara agama diperoleh dari keyakinan (iman) atau wahyu yang dibawa rasul. Namun ilmu secara azazi bertujuan untuk kebahagiakan dan kesejahteraan ummat manusia di dunia dan akhirat ,maka ilmu diharapkan integral pada diri manusia sebagaimana tercermin dalam Al-Qur`an.
Oßg÷YÏBur `¨B ãAqà)tƒ !$oY­/u $oYÏ?#uä Îû $u÷R9$# ZpuZ|¡ym Îûur ÍotÅzFy$# ZpuZ|¡ym $oYÏ%ur z>#xtã Í$¨Z9$# ÇËÉÊÈ  
Artinya : dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah Kami dari siksa neraka"(Al-Baqoroh :201).

            Secara epistemologis terhadap tekstual akan menimbulkan beberapa pertanyaan : apakah kita mampu memahami kenyataan haqiqi dan realitas ?. Dalam hal ini kita dapat berpresepsi bahwa bagaimanapun posisi Al-Qur`an tetap merupakan unsur konstitutif yang sangat berpengaruh di dalam paradigmanya, dan ini bukan berarti bahwa apa yang dibangun oleh manusia sebagai paradigma atau interpretasi itu merupakan kebenaran sejati, melainkan ia lebih merupakan ijtihad yang boleh jadi khilaf.
Read more >>

SPONSORED